"Dapat! "Seruku ketika berhasil mengambil ekspresi wajah yang tidak biasanya ia tampilkan.
Pelan-pelan aku terkekeh memperhatikan bagaimana wajahnya yang manis itu ada di dalam kamera ku ini. Tidak hanya sekali, aku hendak mengambil gambar itu untuk kedua kalinya. Melihat dari ekspresi wajah yang kedua, lelaki yang masih mengenakan seragam sekolahannya itu mendadak menunduk.
"Arif! Aku kan mau foto kamu, jangan nunduk gitu dong."Seruku dengan sedikit kecewa.
Bukannya menoleh kearahku, lelaki itu malah datang dan merebut kamera ini dengan memaksa.
"Kamu harus latihan biar nggak takut sama orang. Apalagi minggu depan udah ujian praktek presentasi. Kamu nggak mau kan nilai ujian praktek jadi jelek karena kebiasaan kamu?"
Lagi-lagi Arif mengeluh karena sikap pendiamku ini. Jika dipikirkan, aku memang benar-benar pendiam. Kebiasaanku adalah menunduk sembari memainkan kuku-kuku jempol. Kadang aku sering membuat kulit ari nya menjadi terlepas hingga berdarah. Dan satu-satunya yang tidak suka dengan kebiasan burukku ini adalah Arif.
Arif sebenarnya tipe cowok yang apa adanya dan kadang sedikit perhatian. Tapi kalau sudah membahas kegiatan pribadinya, dia selalu memancarkan aura berbeda. Arif aktif di dalam kegiatan ekskulnya. Berbeda denganku yang bahkan tidak mengikuti itu sama sekali. Itung-itung ada juga sih ekskul, tapi itu pramuka. Itu bukan ekskul tapi emang kewajiban yang kadang bikin mager.
Dia kadang menjadi dingin ketika aku sudah tidak mau mendengarkannya. Lalu dia akan berubah menjadi yang paling hangat ketika ingin membuat ku menjadi berbeda.
Tujuan utama Arif adalah membuatku menjadi berani dengan siapapun.
"Ayolah, jangan main-main. Masa beraninya cuman sama yang dikenal doang. Sekali-kali bercanda dong sama orang lain."Ungkapnya lagi yang membuatku merasa tersindir secara halus.
Aku menghela napas pelan. "Susah, Rif. Jadi berani itu nggak gampang."
"Sugesti kamu yang bikin itu jadi ancaman. Sebenarnya kamu itu orangnya asik. Tapi sama orang tertentu doang."
Bisa aku rasakan kalau lelaki itu berusaha untuk membuatku menjadi berbeda. Lelaki itu tidak pernah lelah untuk terus mencoba agar usaha nya berhasil.
"Untung ada cowok baik hati yang mau ngertiin kamu melebihi apapun. Eriska, ayolah berubah jadi seseorang yang terbuka. Dibiasain untuk berbicara sebanyak mungkin dengan orang."
Aku menggeleng pelan. Tidak hanya kali ini lelaki itu membahas tentang kebiasaanku. "Nggak gampang, Rif. Susah! "
""Kamu belum mencobanya."pungkas nya dengan cepat.
"Udah, Rif. Aku udah coba beberapa kali atau bahkan setelah kamu membahas tentang ini. Keesokan harinya aku selalu mempraktekkan segala yang kamu katakan, tapi akhirnya tetap sama. Aku nggak bisa."
Arif mengambil sebotol air mineral untuk ia minum. Raut wajahnya kini berubah menjadi serius. "Sugesti kamu doang, Eriska."
"Susah, Rif. Mereka semua udah nganggep aku orang aneh yang harus dijauhi. Aku deket, mereka menjauh. Aku menjauh mereka bicarain tentangku di belakang. Aku bersikap ramah, malah dikata lagi sakit jiwa. Udah capek, Rif."
Arif meminjat pelipisnya singkat. Sepertinya ia memikirkan cara lain agar membuatku menjadi berubah.
"Eriska, kita dulu bahkan nggak sedekat ini kan? Terus kenapa kamu nggak pernah bertanya kalau aku pilih kamu dibandingkan cewek yang lain?"tanya Arif yang sampai detik ini tidak pernah bisa ditebak.
Aku terkekeh pelan. "Mungkin aku gampang buat kamu selingkuhin. Jadi kamu pilih cewek yang gabisa marah atau bertindak kalau cowoknya ketahuan selingkuh "
Arif tertawa dengan keras ketika aku mengutarakan pendapat itu. "Dari kalimat itu aja kamu udah ketawan. Kamu selalu berpikiran negatif dengan orang lain. Pantesan berat badannya segitu terus "
"Arif! "Kataku dengan keras untuk menghentikan pembicaran ini.
Arif menyenderkan kepalanya dibahuku. Matanya sedikit terpejam. "Aku tau kamu itu introvert. Kerjaan kamu di kelas cuman merhatiin orang dan ceritain itu semua sama aku."
"Jadi seorang introvert nggak harus dijauhi, Rif. Aku itu tergantung dengan kenyamanan seseorang. Padahal kalau di pikir kita berdua itu saling bertolak belakang. Kamu suka keramaian, aku tidak sama sekali."
Kadang jika dipikirkan lebih mendalam, hal yang tidak mungkin itu sudah terjadi. Nyatanya, Arif yang ramah dapat mengerti sikapku yang sangat pendiam. Arif bisa memahami diriku dengan caranya sendiri. Meski kami hanya dalam enam bulan saling berkenalan, dia sudah mengerti sikap dan tingkahku yang terkadang tidak diketahui oleh orang lain, terlebih lagi dengan teman sebangku ku sendiri.
Hanya Arif satu-satunya teman sekolahku yang pertama kali aku ajak mengunjungi makam Papa. Dia satu-satunya orang yang aku ceritakan kepada Papa yang mungkin mendengarnya diatas sana.
Bahkan diawal perkenalan kami, dia rela aku diamkan selama tiga jam. Aku yang introvert tidak mungkin banyak bicara dengan orang yang baru ku kenal. Aku harus memahami sikapnya lalu jika menurutku dia asik, kita berteman.
Karena kejadian itu, akhirnya Arif terang-terangan mengeluarkan kekesalannya. Arif berbicara panjang lebar dan tujuannya duduk di dekatku kala itu. Ia hanya ingin berteman denganku.
Hingga sekarang aku mengingatnya, bahkan bisa dikatakan aku wanita yang tidak peka dengan perasaannya.
"Kamu itu aslinya manja."Ungkap Arif dengan singkat. "Tapi kalo di depan orang-orang sok cuek gimana gitu. Ayolah, Eris. Jadi berani di muka umum."
"Besok kamu ujian praktek olahraga kan?"Tanyaku yang kini mulai mengalihkan pembicaraan nya.
Dia mengangguk singkat. "Bukan waktu yang tepat buat bahas pelajaran olahraga. Ini waktunya bahas sikap kamu. Gimana caranya biar bisa bikin kamu jadi cewek pemberani."
Aku terkekeh pelan seraya mengenggam tangannya. "Besok, aku akan coba berani. Aku akan coba gabung dengan kelompok Daisy."
Arif tersenyum singkat. Diacungkan jempol tangannya kearahku dengan sumringah.
Ya, besok. Harus kembali menahan rasa takut ku lagi.
***
Begitu sampai di dalam kelas, ku beranikan diri untuk menyapa semua orang yang berada di kelas. Dimulai dari barisan yang paling depan. Sengaja aku datang telat agaar mereka semua dapat mendengar sapaanku kali ini. Meski ada juga beberapa siswa yang belum datang, aku akan menyapanya nanti ketika ia sudah datang memasuki kelas.
Aku mengatur napas dan mengumpulkan segala keberanianku. Kali ini aku berharap mereka semua tidak menganggapku aneh seperti hari-hari sebelumnya.
"Selamat pagi, Rena. Selamat Pagi Rio, selamat pagi ...."
Belum sempat aku melanjutkan sapaanku itu, seseorang memotong ucapanku dengan cepat. "ERISKA SALAH MINUM OBAT? "
Lalu semua orang tertawa dengan keras.
Ada rasa ngilu di dalam hatiku. Niatnya ingin berubah malah jadi bahan lelucon di pagi hari ini. Seorang introvert akan tetap menjadi seorang introvert. Tidak akan pernah bisa berubah dalam waktu sekejap untuk merubah segala sikapnya. Tidak akan pernah bisa menjadi bagian salah satu anggota ekstrovert yang digemari oleh siapapun.
Aku akan tetap menjadi kura-kura yang selalu mengumpat di dalam cangkang nya yang gelap.
"Berhenti, nggak ada yang lucu tau."Tegas Arif yang sudah berdiri di belakangku.
Semua mata kini beralih menatap Arif yang bahkan tidak berpindah tempat meskipun sudah ku arahkan untuk keluar. Arif masih senantiasa berdiri disana melihat kearah orang-orang yang menertawakan ku dengan wajah yang cukup menyeramkan. Bahkan, wajah nya yang biasanya terlihat ramah kini berubah menjadi dingin layaknya es Batu.
"Cewek gue niatnya baik, malah diketawain. Dia mau coba beradaptasi. Bukan mau ngelawak di depan kelas."Kata Arif yang kini membelaku.
Salah satu teman sekelasku kemudian menyahuti Arif dengan sengaja. "Rif, liat aja kelakukan cewek lo. Nggak biasanya dia mau nyapa kita satu persatu. Cewek lo itu cewek aneh, mendingan tinggalin dia deh daripada lo juga ikutan aneh dan nggak asik lagi."
Kali ini sudah dua kali kalimat yang membuatku merasa berpikir semakin dalam. Seseorang yang introvert mungkin akan sulit di terim di lingkungan normal.
"Tian! Jaga ya ucapan lo itu,"seru Arif dengan tegas.
"Arif! Biarin aja udah, mendingan kamu balik ke kelas. Nanti kalo ketawan guru bisa jadi masalah. Bentar lagi kita mendekati Ujian Nasional. Aku nggak mau kamu kena masalah karena aku."bisikku dengan pelan.
Arif menghela napas dalam. "Anak introvert itu bukan untuk dijauhi, tapi di deketin untuk menghilangkan rasa ketakutannya dengan dunia luar."
Kala itu, semua orang berhenti berkata apapun. Layaknya dunia yang seketika saja menjadi hening. Tidak ada yang membalas ucapan Arif yang begitu tulus dari hatinya untuk membelaku.
Aku jadi teringat setiap kali ia berbicara lebih denganku. Di setiap pembahasan dan pembicaraan kami, dia selalu menyelipkan suatu motivasi agar aku menjadi seseorang yang berani dan terbuka. Tidak hanya itu, beberapa kali Arif juga sering membela ku ketika orang lain malah meremehkan ku. Arif selalu datang dengan sendirinya disaat yang tidak pernah aku duga.
Beruntung sekali aku bertemu dengannya dan bisa dekat dengannya seperti saat ini. Seingatku, sewaktu kami kelas sepuluh dan sebelas tidak sekalipun kami saling bertegur sapa dan berbicara banyak hingga berjam-jam. Hingga akhirnya dia datang dan mengajakku berbicara namun malah aku diamkan karena tidak berani mengeluarkan isi kalimat yang aku rancang di otakku ini.
Karena Arif, aku jadi lebih berani dibandingkan dulu. Hal itu dibuktikan dengan cara berjalanku yang tidak menunduk kebawah. Aku sudah mulai berani memandang kearah depan ketika berjalan.
Bahkan, aku sudah berani memakan bekalku di kantin yang selalu penuh dengan keramaian.
Batinku berteriak dengan keras di dalam sana. Aku merasa beruntung karena ia masih mau bertahan disisiku dan memahami segala sikapku.
"Duduk, Ris. Abis ini kamu latihan presentasi lagi kan sama aku? "Tanya nya dengan tersenyum manis menampilkan lesung pipinya itu.
***
Ps : cerita ini juga dipublish di akun wattpad saya @moonlittype. Apabila menemukannya di halaman web atau blog lain harap laporkan karena sudah melanggar hak cipta.